Sekalian aja gua posting ke blog, udah lama juga gak ngeposting apapun...
ha..ha..ha..
Raden Gathotkaca, atau dikenal dengan Kacanegara,
Rimbiyatmaja, Bimasuta, Bayusuta, Rincingwesi, Guruputra, Guruatmaja, atau
Tetuka adalah putra tunggal dari Bima dan Arimbi. Saudara seayahnya yang lain
adalah Ontorejo putra Bima dengan Nagagini dan Ontoseno putra Bima dengan
Urangayu. Gatotkaca diceritakan memiliki tiga istri, yaitu Endang Pregiwa
berputra Raden Sasikirana, Dewi Suryawati berputra Suryakaca, dan Dewi Sempani berputra
Jaya Sumpena. Gathotkaca sebenarnya adalah seorang raja di negara Pringgondani
namun juga seorang senopati di negara Amarta, negara milik sesepuhnya. Dia
bergelar sebagai Prabu Anom Kacanegara karena naik tahta di usia yang masih
sangat muda. Gathotkaca dikenal sebagai satria yang gagah, tampan dan sakti,
akan tetapi banyak hal yang kurang diketahui oleh masyarakat umum tentang
kehidupan Gathotkaca sepenuhnya.
Ketika membahas tentang Gathotkaca
alangkah baiknya jika memulai dari cerita pertemuan antara Bima dan Arimbi.
Pada suatu saat, Bima diperintah oleh eyangnya, Begawan Abiyasa, untuk menuntut
hak Pandawa atas negara Hastina yang dititipkan kepada para Kurawa oleh ayah
para Pandawa, Prabu Pandu Dewanata. Negara Hastina dahulu sebenarnya dititipkan
oleh Pandu kepada kakaknya yang bernama Destarastra karena Pandu akan segera
mangkat dan Pandawa masih kanak-kanak. Akan tetapi, setelah berjalannya waktu
adik dari istri Destarastra yang bernama Harya Suman, yang kelak menjadi patih
Sengkuni, menerapkan tipu muslihat kepada anak-anak dari Destarastra yang
dikenal sebagai Kurawa untuk merongrong kekuasaan ayahnya. Sehingga dengan
sedikit memaksa, Kurupati yang merupakan anak sulung dari Kurawa menjadi raja
bergelar Prabu Doryudana.
Harya Suman tidak dapat disalahkan
sepenuhnya atas peristiwa ini. Karena dia sendiri terikat sumpah kepada
kakaknya sendiri, Gandari, untuk memuliakan anak-anak dari kakaknya dengan
menjadi raja di Hastina. Suman sampai berani bersumpah seperti ini karena dia
merasa kasihan atas kisah cinta yang dialami oleh kakaknya. Sebenarnya, Gandari
merupakan salah satu dari tiga putri boyongan yang dibawa Pandu untuk dijadikan
istri. Pada waktu itu Gandari sudah merasa jatuh cinta pada Pandu dan merasa
optimis bahwa keturunannya kelak akan menggantikan Pandu menjadi raja. Akan
tetapi setelah tiba di Hastina, Pandu mempersilakan Destarastra untuk memilih
satu dari tiga putri boyongan yang dibawa Pandu. Dan Destarastra memilih
Gandari dengan alasan bahwa Gandari diramalkan akan memiliki putra banyak.
Gandari merasa sedih dan marah karena Destarastra adalah seseorang yang cacat
buta dan hal inilah yang menjadikan Destarastra tidak menjadi raja walaupun dia
anak sulung. Karena inilah Suman akhirnya bersumpah di hadapan kakaknya.
Kembali ke cerita Bima yang baru
saja tiba di Hastina. Sesampainya di sana Bima mengutarakan maksud
kedatangannya kepada kakak sepupunya, Prabu Doryudana. Patih Sengkuni segeri
memengaruhi Doryudana agar tidak melepaskan tahtanya kepada para Pandawa
walaupun itu hanya separuh negara. Dengan akal muslihat para pejabat yang hadir
di pisowanan Hastina, Resi Durna memberikan wilayah hutan Wanamarta kepada para
Pandawa. Dan berangkatlah Bima untuk membabat hutan itu. Sebenarnya ini adalah
tipu daya Kurawa agar para Pandawa agar segera mati karena hutan tersebut
dikenal sangat berbahaya.
Setelah berpamitan kepada ibu,
saudara-saudaranya dan eyangnya yang berada di pertapan Wukirratawu, Bima
segera membabat hutan Wanamarta. Sebenarnya hutan itu adalah sebuah kerajaan
Jin yang bernama Indraloka. Setelah terjadi beberapa pertikaian dan dibantu
saudaranya yang lain, akhirnya para Jin menitipkan kerajaannya pada Pandawa
bahkan para satria Jin bersatu dengan tubuh para Pandawa untuk menambah
kesaktian Pandawa. Kerajaan baru itu menjadi kerajaan milik para Pandawa dan
diberi nama kerajaan Amarta. Di lain tempat, Prabu Arimba, seorang raja raksasa
di negara Pringgondani, memerintahkan adiknya yang bernama Arimbi untuk mencari
mangsa manusia. Akhirnya Arimbi sampai di hutan Wanamarta dan melihat seorang
manusia sedang berada di hutan. Bukannya hendak memangsa namun Arimbi malah
jatuh cinta pada Bima. Dan segera menyatakan cintanya pada Bima.
Melihat wujud Arimbi yang berwujud
seorang raksasa, tentu saja Bima tidak mau menerima Arimbi. Mengetahui
peristiwa ini, Kunti, ibu para Pandawa, segera mendekati Arimbi dan menanyakan
apakah cintanya pada Bima benar-benar tulus. Setelah mendengar ketulusan
Arimbi, Kunti segera merias Arimbi dan berganti wujudlah dia menjadi seorang
putri yang sangat mempesona. Bima akhirnya mau menjadi istri Arimbi.
Prabu Arimba yang mencari adiknya
karena lama tidak kembali, segera bertemu dengan Arimbi. Dan betapa terkejutnya
dia setelah mengetahui jika calon santapannya telah menjadi suami dari Arimbi.
Yang menjadikan Prabu Arimba semakin marah adalah bahwa Bima adalah putra Pandu
yang berarti musuh. Pandu dan ayah Prabu Arimba, Prabu Tremboko, pernah
terlibat peperangan besar yang akhirnya berakhir dengan gugurnya Tremboko. Sebenarnya kedua raja ini dulu sangat rukun
karena Prabu Tremboko adalah murid dari Prabu Pandu, namun karena tipu muslihat
Harya Suman kedua negara ini terlibat pertempuran.
Arimba yang merasa sangat marah
berusaha membunuh Bima. Dan kedua pemuda ini saling adu kesaktian dan berakhir
dengan kematian Arimba. Mengetahui kematian Arimba, adik-adik Arimba yang lain
bersumpah untuk tidak akan naik tahta dan memberikan tahta kepada keturunan
Arimbi walaupun dia seorang perempuan. Dan
begitulah akhirnya pertemuan antara Bima dan Arimbi.
Di masa kelahiran Gatotkaca, tali
pusar dari bayi Gathotkaca tidak bisa dipotong dengan segala senjata tajam
maupun semua pusaka yang ada. Atas petunjuk Prabu Krisna, Arjuna diperintah
untuk mendapatkan pusaka dewa yang bernama Kuntawijayandanu. Berangkatlah
Arjuna mencari pusaka tersebut. Ternyata yang akan memberikan pusaka tersebut
adalah Batara Narada. Di saat yang bersamaan, Suryatmaja, yang kelak bergelar
Adipati Karna, juga berusaha memperoleh pusaka tersebut. Sebenarnya pusaka
tersebut digariskan untuk diberikan kepada Arjuna. Akan tetapi, Suryatmaja
datang lebih dulu dan wajahnya sangat mirip dengan Arjuna karena Suryatmaja
sebenarnya adalah juga anak dari Kunti. Pusaka Kuntawijayandanu akhirnya
diberikan kepada Suryatmaja. Arjuna yang ternyata baru saja datang menjadikan
batara Narada merasa sangat kecewa karena dia salah memberikan pusaka. Arjuna
akhirnya hanya diberikan warangka dari pusaka tersebut untuk memotong tali
pusar bayi putra Bima. Tali pusar bayi tersebut akhirnya dapat dipotong, namun
warangka dari pusaka Kuntawijayandanu malah ikut masuk ke dalam pusar bayi
tersebut.
Walau baru saja dilahirkan,
Gathotkaca sudah menjadi jago dari para dewa. Ini dimulai dari peristiwa
diserangnya Kahyangan Jonggirisaloka oleh prajurit yang dipimpin oleh patih
Sekipu. Mereka mengemban tugas dari Prabu Kagapracona yang ingin memperistri
bidadari yang bernama dewi Lenglengdanu dan Gagarmayang. Karena dewa tidak
mengijinkan maka prabu Kagapracona marah dan menyatakan perang jika dewa tidak
mengijinkan dia untuk memboyong kedua bidadari tersebut.
Semua dewa-dewa di kahyangan tidak
ada yang bisa menandingi kesaktian dari patih Sekipu. Raja dari para dewa,
Batara Guru, segera memerintahkan patihnya, Batara Narada, untuk mencari
bantuan di marcapada. Batara Guru memberi tahu Narada bahwa saat ini Arimbi
baru saja melahirkan seorang putra dan bayi tersebut diramalkan akan mampu
menanggulangi musuh dari kahyangan tersebut.
Tidak berapa lama tibalah Batara Narada di
tempat Arimbi melahirkan seorang putra. Di tempat itu ternyata tidak diselimuti
rasa senang karena hadirnya seorang anggota keluarga baru. Namun yang terjadi
Bima malah merasa sangat sedih atas kelahiran anaknya yang dia beri nama
Bambang Tetuka. Hal ini dikarenakan bayi yang dilahirkan oleh Arimbi berwujud
raksasa seperti keadaan ibunya dulu. Batara Narada segera mengungkapkan maksud
kedatangannya untuk meminjam bayi tersebut untuk dijadikan jago dewa. Bima pun
sedikit merasa bahagia karena walaupun Bambang Tetuka berwujud raksasa tetapi
sudah bisa membantu para dewa.
Setibanya di kahyangan, atas
petunjuk Batara Guru, bayi putra Bima dengan Arimbi tersebut dimasukkan dalam
kawah Candradimuka dan dilebur dengan pusaka-pusaka dewa. Semakin lama bayi
tersebut bercampur dengan pusaka dewa dan menjadi seorang pemuda yang berwajah
angker. Oleh Batara Guru dia diberi tugas untuk membasmi musuh kahyangan dan
bila Tetuka dapat menyelesaikan tugasnya, dia dijanjikan akan menjadi raja di
kahyangan walaupun hanya sebentar dengan gelar Prabu Guruputra. Tetuka juga
dijelaskan bahwa dia memiliki raga yang bagaikan besi karena dia dilebur dengan
pusaka dewa, dan dia memiliki berbagai pusaka yang menyatu dengan busananya,
antara lain Antrakusuma, Caping Basunanda dan busana yang lain. Tetuka juga
diberi nama lain Gathotkaca oleh Bathara Guru dan Bathara Narada.

Mengetahui patihnya telah tiada,
Prabu Kagapracona menjadi sangat marah dan menyerang dengan membabi buta seraya
mencari Gathotkaca. Terjadilah pertempuran antara Gathotkaca dan Kagapracona.
Pertempuran tersebut akhirnya berakhir ketika Gathotkaca memuntir kepala
Kagapracona hingga putus, dan sejak itu pula Gathotkaca dikenal sangat
menakutkan di mata musuhnya ketika dia membunuh musuh dengan memuntir kepala
lawan hingga putus dengan tangan kosong. Akhirnya musuh kahyangan dapat diatasi
dan sesuai janji Bathara Guru, Gathotkaca suatu ketika dijadikan raja di
kahyangan Kaendran dengan gelar Prabu Guruputra.
Tidak berapa lama tibalah saatnya
Gathotkaca untuk naik tahta di negara Pringgondani. Karena rakyat Pringgondani
tidak boleh berlama-lama hidup tanpa hadirnya seorang raja. Sejak kematian
Prabu Arimba, negara Pringgondani tidak memiliki seorang raja, dan hanya
dijalankan oleh adik-adik Arimbi yang dikenal sebagai kadang Braja untuk
menjalankan pemerintahan sehari-hari. Walaupun Gathotkaca masih sangat muda,
karena sebenarnya untuk jangka waktu normal dia masih seorang anak balita,
tetapi sudah dianggap mampu memerintah negara karena pernah menjadi raja di
kahyangan.
Para Kurawa yang juga mendengar
kabar tersebut menjadi sangat gelisah karena kekuatan Pandawa
tentu akan menjadi
semakin kuat. Akhirnya Doryudana sepakat untuk memerintah patih Sengkuni dan
Resi Durna untuk pergi ke kediaman adik-adik Arimbi untuk memengaruhi mereka
agar tidak menyetujui Gathotkaca menjadi raja. Berangkatlah Sengkuni dan Durna
ke Kadipaten Premalang tempat kediaman adik-adik Arimbi biasa berkumpul,
diiringi oleh para Kurawa dan dikawal oleh prajurit Hastina. Sesampainya di
sana, sudah berkumpul Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan
Kalabendana membicarakan tentang persiapan kenaikan tahta keponakannya.
Sengkuni dan Durna segera menerapkan politik adu dombanya kepada para kadang
Braja agar tidak menyetujui Gathotkaca menjadi raja karena yang layak menjadi
raja itu sebenarnya adalah salah satu dari kadang Braja tersebut.
Karena kepintaran merangkai kata
kedua utusan Hastina tersebut, Brajadenta termakan hasutan mereka. Terjadilah
perpecahan di antara mereka sendiri, Brajadenta tidak menyetujui Gathotkaca
menjadi raja, sedangkan Brajamusti dan Kalabendana merasa Gathotkaca memang
harus menjadi raja, Brajawikalpa dan Brajalamatan hanya bersikap netral
terhadap peristiwa ini. Brajamusti dan Kalabendana akhirnya diusir dari
kadipaten Premalang bahkan terlibat pertempuran dengan prajurit Premalang yang
bergabung dengan para Kurawa dan prajurit Hastina.
Brajamusti dan Kalabendana segera
bergegas menuju ke Pringgondani untuk memberi tahu Arimbi dan para Pandawa
bahwa Brajadenta akan membangkang dan berniat menjadi raja. Tidak berapa lama
munculah para prajurit Premalang, para Kurawa dan prajurit Hastina yang hendak
menyerang Pringgondani. Timbulah pertempuran saudara yang besar di kraton
Pringgondani itu sendiri. Semua kesatria Pandawa dan Gathotkaca sendiri tidak
dapat menandingi kesaktian Brajadenta. Mengetahui hal ini Brajamusti segera
menghampiri Gathotkaca dan membawanya ke luar medan pertempuran. Brajamusti
menceritakan bahwa sebenarnya Brajadenta dan Brajamusti adalah dua buah ajian
milik Prabu Tremboko yang dulu diberikan oleh Prabu Pandu. Karena nafsu Prabu
Tremboko yang saat itu pulang di istana melihat istrinya, kedua buah ajian yang
baru saja diberikan oleh Prabu Pandu berubah menjadi dua bayi raksasa yang
sakti. Maka bila ingin membunuh Brajadenta, Brajamusti juga harus sirna.
Mendengar pernyataan pamannya
tersebut, Gathotkaca merasa sangat sedih. Brajamusti merasa marah melihat kesedihan
keponakannya itu, karena sebagai seorang pemimpin pengorbanan itu sangat perlu
demi keamanan bangsa. Akhirnya Gathotkaca mau melakukan apa saja agar
pertempuran di Pringgondani dapat terselesaikan. Brajamusti memberikan arahan
agar pada saat Gathotkaca berhadapan dengan Brajadenta, Gathotkaca harus
mencengkeram kepala Brajadenta dan Brajamusti secara bersamaan dan membenturkan
kedua kepala mereka. Dengan hati berat Gathotkaca menyetujui hal tersebut dan
maju ke medan pertempuran mencari Brajadenta.
Setelah berhadapan dengan
Brajadenta terjadilah perkelahian di antara mereka. Akhirnya Gathotkaca dapat
melemahkan Brajadenta dan mencengkeram kepalanya, disaat bersamaan Brajamusti
segera menghampiri Gathotkaca seraya menyodorkan kepalanya. Gathotkaca dengan
sekuat tenaga membenturkan kepala kedua pamannya tersebut hingga kedua kepala
tersebut hancur berkeping-keping dan Gathotkaca bermandikan darah yang muncrat
dari pecahnya kepala kedua pamannya. Bersamaan dengan hancurnya kepala mereka,
raga Brajadenta dan Brajamusti menghilang dan kembali menjadi wujud ajian.
Ajian tersebut masuk ke dalam kedua telapak tangan Gathotkaca dan dikenal
sebagai Aji Brajamusti. Selesailah
pertempuran yang terjadi di Pringgondani. Kurawa yang menjadi akar masalah
kembali ke Hastina secara diam-diam. Prajurit Premalang kembali menyatu dengan
Pringgondani. Brajalamatan diangkat menjadi patih di Pringgondani bergelar
patih Prabakesa dan Brajawikalpa diangkat menjadi senopati.
Gathotkaca merupakan sebuah mesin
pembunuh milik keluarga Pandawa. Yang dia pikirkan setiap hari hanyalah
membunuh musuh. Sejak lahir Gathotkaca tidak pernah merasakan indahnya masa
bermain, yang dia tahu hanyalah sebuah realita peperangan yang setiap kali dia
alami. Akan tetapi, Gathotkaca pernah mengalami perasaan manusia seutuhnya
ketika dia mencintai Endang Pregiwa putri dari Arjuna.
Sebenarnya antara Bima dan Arjuna
sudah menyetujui pernikahan antara Gathotkaca dengan Pregiwa. Akan tetapi putra
dari prabu Doryudana yang bernama Sarojakusuma juga menginginkan Pregiwa untuk
menjadi istrinya. Melihat keinginan putranya, prabu Doryudana mengutus Resi
Durna untuk melamar Pregiwa. Arjuna akhirnya menerima lamaran dari Resi Durna
karena Resi Durna adalah gurunya dan apabila Arjuna tidak menerima lamaran
tersebut, dia diancam bahwa semua ilmu yang sudah diberikan akan diambil
kembali.
Mengerti bahwa Pregiwa yang
dicintainya akan menikah dengan orang lain, Gathotkaca bingung dalam
mengungkapkan perasaan yang dirasakannya. Dia segera melesat ke angkasa dan
menjatuhkan dirinya dengan menukik ke bebatuan agar dirinya hancur. Akan tetapi
walaupun sudah dilakukan berkali-kali hingga suara gemuruhnya menimbulkan
kepanikan penduduk sekitar, badannya tetap tidak hancur karena raganya terbuat
dari pusaka-pusaka dewa. Prabu Kresna yang mengetahui hal ini segera
menghampiri Gathotkaca untuk menghentikan tingkah lakunya itu. Prabu Kresna
memberikan saran jika Gathotkaca benar-benar mencintai Pregiwa bukankah
Gathotkaca dapat menculiknya dari Sarojakusuma, toh Pregiwa juga lebih menerima
Gathotkaca.
Berangkatlah Gathotkaca menculik
Pregiwa. Para Kurawa geger karena hilangnya calon pengantin wanita. Dengan
beberapa penyelesaian akhirnya Sarojakusuma mengaku kalah dan menerima dengan
hati berat Pregiwa menjadi jodoh Gathotkaca. Akhirnya Gathotkaca menikah dengan
Pregiwa dan menjadikan dia sebagai permaisuri dan berputra Raden Sasikirana.
Selain Pregiwa Gathotkaca juga memiliki istri lain yaitu Suryawati yang
merupakan seorang dewi kahyangan putra dari Batara Surya dan Sempani yang mencintai
Gathotkaca hanya dengan lewat mimpinya.
Sebagai seorang satria, seakan
Gathotkaca tidak memiliki kekurangan dalam perilaku dalam hidupnya. Namun sebagai
seorang titah, dia juga banyak melakukan kesalahan-kesalahan bahkan hingga
kejahatan yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Hal ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa Gathotkaca sebenarnya adalah seorang raksasa. Kesalahan
terbesar dalam hidup Gathotkaca adalah pada saat dia diperintah oleh Prabu
Kresna untuk menjaga Siti Sendari. Dalam peristiwa ini Gathotkaca akan
mendapatkan karma di kemudian hari yang berujung pada ajalnya.
Peristiwa ini bermula ketika
Abimanyu, adik sepupu Gathotkaca, diperintah oleh Prabu Kresna untuk menikahi
Utari yang sebenarnya secara silsilah adalah adik sepupu eyang Abimanyu
sendiri. Padahal waktu itu Abimanyu baru saja menikah dengan Siti Sendari yang
sebenarnya adalah putri dari Prabu Kresna. Abimanyu diperintahkan untuk
menikahi Utari adalah dengan alasan bahwa Abimanyu memiliki wahyu Wijining
Ratu, sedangkan Utari memiliki wahyu Baboning Ratu. Apabila kedua orang ini
disatukan, maka akan lahir keturunan raja yang kuat. Dan menurut Babad Tanah
Djawa, raja-raja Jawa hingga saat ini masih satu garis keturunan dengan
Abimanyu dan Utari tersebut.
Agar Siti Sendari tidak tahu bila
Abimanyu menikah lagi, maka Gathotkaca diberi tugas untuk menjaga Siti Sendari.
Tugas Gathotkaca adalah hanya menjaga rahasia agar pernikahan Abimanyu dengan
Utari tidak diketahui oleh Siti Sendari. Akan tetapi hal ini menjadi runyam
ketika Kalabendana melakukan hal yang tidak pernah terkira oleh Gathotkaca
sebelumnya.
Kalabendana adalah paman dari
Gathotkaca. Dia adalah raksasa yang kerdil, tangannya cacat, berbicaranya tidak
terlalu jelas, tidak memiliki kesaktian apapun, namun dia sangat jujur dan
lugu. Selain itu Kalabendana juga sangat menyayangi Gathotkaca. Oleh karena
itu, kemanapun Gathotkaca pergi Kalabendana selalu menemani keponakannya
tersebut. Akan tetapi sifat jujur dan lugu Kalabendana ini menimbulkan bencana.
Ketika secara tidak sengaja
Kalabendana mengetahui bahwa Abimanyu menikah lagi dengan Utari. Kalabendana
segera menghampiri Siti Sendari dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Mendengar hal tersebut Siti Sendari sangat sedih karena dia dan Abimanyu baru
saja menikah. Gathotkaca yang tidak sempat mencegah pamannya untuk tidak
mengatakan bahwa Abimanyu menikah lagi langsung naik darah. Kalabendana yang
berwujud raksasa kerdil tersebut segera diseret oleh Gathotkaca keluar istana.
Tanpa mengatakan apa-apa Gathotkaca menghajar Kalabendana dengan membabi buta.
Sebagai seorang raksasa yang tidak memiliki kesaktian apa-apa, menerima
terjangan seorang satria yang kesaktiannya begitu dahsyat, tentu saja
Kalabendana dengan mudahnya meregang nyawa dengan badan yang hancur lebur.
Setelah menyadari apa yang
diperbuatnya dan mengetahui bahwa pamannya sudah tiada, Gathotkaca merasa
sangat sedih dan menyesal. Di tengah-tengah meratapi kepergian pamannya, muncul
suara Kalabendana namun tanpa ada wujudnya, itulah suksma Kalabendana. Suksma Kalabendana
mengatakan bahwa dia tidak akan masuk ke nirwana jika tidak bersama dengan
keponakan kesayangannya, dan Kalabendana akan menjemput Gathotkaca dalam perang
besar antara Pandawa dan Kurawa, yang kelak dikenal dengan perang Baratayuda.
Dalam perjalanan pemerintahannya,
Gathotkaca memiliki musuh bebuyutan yang sebenarnya masih saudaranya sendiri.
Dia adalah Prabu Sitija Bomanarakasura putra Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi.
Perselisihan mereka dimulai ketika kedua raja muda ini berebut daerah kekuasaan
di daerah Kikis Tunggarana. Memang kedua kerajaan mereka berbatasan wilayah
sehingga rentan berebut kekuasaan. Perkelahian antara kedua raja muda tersebut
tidak dapat dihindari. Prabu Sitija sangat sakti karena dia memiliki aji
Pancasonya yang artinya selama dia masih di atas bumi, dia tidak akan mati.
Akhirnya pertempuran berakhir setelah topeng pemberian Bathara Narada yang
diberikan ke
pada Gathotkaca pecah dan terlihat wajah asli raksasanya.
Gathotkaca malu dan meninggalkan pertempuran.
Setelah Prabu Kresna mengetahui
hal tersebut, kedua raja tersebut akhirnya dapat berunding dengan damai. Dan
wilayah Kikis Tunggarana menjadi milik Pringgondani. Wajah raksasa Gathotkaca
juga dapat ditanggulangi dengan topeng yang menjadi satu dengan wajah
Gathotkaca, sehingga tidak akan pecah karena topeng itu sudah menjadi wajah
Gathotkaca. Walaupun dalam peristiwa tersebut mereka sudah berdamai, namun
kedua raja muda ini setiap kali bertemu pasti akan terlibat dalam sebuah
pertempuran.
Setelah beberapa lama, tibalah terjadinya
perang besar antara Pandawa dan Kurawa. Peperangan dimulai sejak setelah
terakhir kalinya Pandawa meminta separuh negara dan tidak diberikan oleh
Kurawa, dan bahkan Prabu Kresna yang menjadi duta para Pandawa diberlakukan
secara tidak hormat di Hastina. Sejak saat itu kedua pihak menyatakan perang.
Perang ini disepakati dilaksanakan di padang Kurusetra. Kedua pihak menerjunkan
prajurit yang begitu banyak bersama dengan bala bantuan masing-masing pihak. Di
pihak Kurawa terdapat 11 aksohini atau 2.405.700 prajurit dan di pihak Pandawa
terdapat 7 aksohini atau 1.530.900 prajurit. Pertempuran terjadi sangat sengit
dan banyak kesatria yang gugur dalam pertempuran yang dahsyat tersebut.

Menerima perintah dari Pandawa
lewat Prabu Kresna untuk menjadi senopati, Gathotkaca merasa bahagia walaupun
dia tahu bahwa dia dijadikan tumbal di malam itu. Setelah berpamitan dengan
ibunya, Arimbi, Gathotkaca segera menyiapkan pasukannya. Pasukan Gathotkaca
terdiri dari raksasa-raksasa ganas negara Pringgondani yang didampingi oleh
patih Prabakesa dan Brajawikalpa yang merupakan paman dari Gathotkaca sendiri.
Setelah persiapan yang singkat dan dirasa cukup, Gathotkaca segera
memerintahkan pasukannya untuk maju dan dia sendiri segera melesat ke angkasa.
Terjadilah pertempuran yang brutal. Pasukan Awangga yang dipimpin oleh Adipati
Karna juga terdiri dari pasukan raksasa seperti halnya pasukan Pringgondani.
Pertempuran antar raksasa tersebut terlihat sangat sadis karena mereka sudah
melepaskan baju perang dan senjatanya, yang terjadi hanyalah saling menggigit
dan saling mencakar yang penting diri mereka sendiri dapat bertahan di
pertempuran tersebut. Sudah tidak terlihat mana kawan mana lawan karena semua
sama dan ditambah pertempuran tersebut terjadi di malam hari.
Gathotkaca sendiri bingung
menyaksikan keadaan pertempuran di saat itu karena tidak terlihat mana
pasukan
Pringgondani atau mana pasukan Awangga. Dengan segenap amarahnya Gathotkaca
memuntir semua kepala raksasa tanpa pandang bulu apakah dia kawan atau lawan.
Yang masih dia kenali adalah kedua pamannya yakni Prabakesa dan Brajawikalpa.
Adipati Karna yang berada di atas keretanya dan berada sedikit mundur dari
pertempuran merasa ngeri melihat kesadisan Gathotkaca yang dengan mudahnya
memenggal setiap kepala raksasa dengan tangan kosong hingga bermandikan darah
segar. Tanpa disadari pasukan Awangga terpukul mundur dan hampir habis karena
keganasan Gathotkaca. Adipati Karna yang merasa terancam segera mengeluarkan
pusaka Kuntawijayandanu dan membidikkannya ke arah badan Gathotkaca. Mengerti
dibidik dengan pusaka Kuntawijayandanu, Gathotkaca segera melesat ke angkasa
setinggi-tingginya dan menggulung awan agar pusaka tersebut tidak sampai ke
badannya.
Raja muda Pringgondani itu
akhirnya gugur. Raga Gathotkaca yang telah ditinggal sukmanya berubah menjadi
besi yang sangat berat dan menjatuhi kereta dan pasukan Awangga yang masih
tersisa. Untung Adipati Karna bisa segera melompat dan berlari ketakutan menuju
pesanggrahan para Kurawa, karena apabila tidak Adipati Karna juga akan ikut
menemui ajal. Pasukan Awangga habis tanpa sisa, pasukan Pringgondani sangat
sedih melihat rajanya yang sangat dihormatinya telah menjadi seonggok besi
berbentuk manusia.
Arimbi segera memeluk jenazah putra yang sangat
dicintainya tersebut. Bima hanya mematung melihat Gathotkaca yang merupakan
putra terakhir yang masih tersisa akhirnya gugur juga. Semua keluarga Pandawa
merasa sangat sedih akan gugurnya Gathotkaca. Seperti yang diketahui
sebelumnya, Gathotkaca terlahir hanya sebagai mesin pembunuh, dia tidak pernah
merasakan kebahagiaan dengan kebebasan yang ada dalam dirinya. Saat di usia
sebayanya bermain perang-perangan, dia sudah terjun memimpin pasukan dan
bersimbah darah. Gathotkaca tidak pernah merasakan indahnya masa kanak-kanak
seperti halnya Ontorejo maupun Ontoseno. Inilah yang menjadikan Pandawa semakin
sedih. Di lain pihak Prabu Kresna malah tersenyum melihat jenazah Gathotkaca,
karena ini menjanjikan kemenangan bagi Pandawa sebab Adipati Karna sudah dapat
dipastikan sudah lemah kekuatannya tidak sekuat sebelumnya.