Mengenai Saya

Foto saya
Bantoel, Yogyakarta, Indonesia
Isih mudha tumaruna, dudu wong agung, amung bocah pidak pejarakan kang tansah ngudi sarira murih raharjaning urip ing donya lan akherat... Tansah kagandrung-gandrung dening seni Kabudayan mligine budaya Jawa.... Durung nambut silaning akrama opomeneh peputra (cen durung wayahe)... Yen ana sing tertarik, kenalan ya gelem.... ha..ha..ha..ha..ha..ha..

Selasa, 25 Maret 2014

Gathotkaca

Kemarin dapet tugas dari dosen....
Sekalian aja gua posting ke blog, udah lama juga gak ngeposting apapun...
ha..ha..ha..



Raden Gathotkaca, atau dikenal dengan Kacanegara, Rimbiyatmaja, Bimasuta, Bayusuta, Rincingwesi, Guruputra, Guruatmaja, atau Tetuka adalah putra tunggal dari Bima dan Arimbi. Saudara seayahnya yang lain adalah Ontorejo putra Bima dengan Nagagini dan Ontoseno putra Bima dengan Urangayu. Gatotkaca diceritakan memiliki tiga istri, yaitu Endang Pregiwa berputra Raden Sasikirana, Dewi Suryawati berputra Suryakaca, dan Dewi Sempani berputra Jaya Sumpena. Gathotkaca sebenarnya adalah seorang raja di negara Pringgondani namun juga seorang senopati di negara Amarta, negara milik sesepuhnya. Dia bergelar sebagai Prabu Anom Kacanegara karena naik tahta di usia yang masih sangat muda. Gathotkaca dikenal sebagai satria yang gagah, tampan dan sakti, akan tetapi banyak hal yang kurang diketahui oleh masyarakat umum tentang kehidupan Gathotkaca sepenuhnya.
Ketika membahas tentang Gathotkaca alangkah baiknya jika memulai dari cerita pertemuan antara Bima dan Arimbi. Pada suatu saat, Bima diperintah oleh eyangnya, Begawan Abiyasa, untuk menuntut hak Pandawa atas negara Hastina yang dititipkan kepada para Kurawa oleh ayah para Pandawa, Prabu Pandu Dewanata. Negara Hastina dahulu sebenarnya dititipkan oleh Pandu kepada kakaknya yang bernama Destarastra karena Pandu akan segera mangkat dan Pandawa masih kanak-kanak. Akan tetapi, setelah berjalannya waktu adik dari istri Destarastra yang bernama Harya Suman, yang kelak menjadi patih Sengkuni, menerapkan tipu muslihat kepada anak-anak dari Destarastra yang dikenal sebagai Kurawa untuk merongrong kekuasaan ayahnya. Sehingga dengan sedikit memaksa, Kurupati yang merupakan anak sulung dari Kurawa menjadi raja bergelar Prabu Doryudana.
Harya Suman tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas peristiwa ini. Karena dia sendiri terikat sumpah kepada kakaknya sendiri, Gandari, untuk memuliakan anak-anak dari kakaknya dengan menjadi raja di Hastina. Suman sampai berani bersumpah seperti ini karena dia merasa kasihan atas kisah cinta yang dialami oleh kakaknya. Sebenarnya, Gandari merupakan salah satu dari tiga putri boyongan yang dibawa Pandu untuk dijadikan istri. Pada waktu itu Gandari sudah merasa jatuh cinta pada Pandu dan merasa optimis bahwa keturunannya kelak akan menggantikan Pandu menjadi raja. Akan tetapi setelah tiba di Hastina, Pandu mempersilakan Destarastra untuk memilih satu dari tiga putri boyongan yang dibawa Pandu. Dan Destarastra memilih Gandari dengan alasan bahwa Gandari diramalkan akan memiliki putra banyak. Gandari merasa sedih dan marah karena Destarastra adalah seseorang yang cacat buta dan hal inilah yang menjadikan Destarastra tidak menjadi raja walaupun dia anak sulung. Karena inilah Suman akhirnya bersumpah di hadapan kakaknya.
Kembali ke cerita Bima yang baru saja tiba di Hastina. Sesampainya di sana Bima mengutarakan maksud kedatangannya kepada kakak sepupunya, Prabu Doryudana. Patih Sengkuni segeri memengaruhi Doryudana agar tidak melepaskan tahtanya kepada para Pandawa walaupun itu hanya separuh negara. Dengan akal muslihat para pejabat yang hadir di pisowanan Hastina, Resi Durna memberikan wilayah hutan Wanamarta kepada para Pandawa. Dan berangkatlah Bima untuk membabat hutan itu. Sebenarnya ini adalah tipu daya Kurawa agar para Pandawa agar segera mati karena hutan tersebut dikenal sangat berbahaya.
Setelah berpamitan kepada ibu, saudara-saudaranya dan eyangnya yang berada di pertapan Wukirratawu, Bima segera membabat hutan Wanamarta. Sebenarnya hutan itu adalah sebuah kerajaan Jin yang bernama Indraloka. Setelah terjadi beberapa pertikaian dan dibantu saudaranya yang lain, akhirnya para Jin menitipkan kerajaannya pada Pandawa bahkan para satria Jin bersatu dengan tubuh para Pandawa untuk menambah kesaktian Pandawa. Kerajaan baru itu menjadi kerajaan milik para Pandawa dan diberi nama kerajaan Amarta. Di lain tempat, Prabu Arimba, seorang raja raksasa di negara Pringgondani, memerintahkan adiknya yang bernama Arimbi untuk mencari mangsa manusia. Akhirnya Arimbi sampai di hutan Wanamarta dan melihat seorang manusia sedang berada di hutan. Bukannya hendak memangsa namun Arimbi malah jatuh cinta pada Bima. Dan segera menyatakan cintanya pada Bima.
Melihat wujud Arimbi yang berwujud seorang raksasa, tentu saja Bima tidak mau menerima Arimbi. Mengetahui peristiwa ini, Kunti, ibu para Pandawa, segera mendekati Arimbi dan menanyakan apakah cintanya pada Bima benar-benar tulus. Setelah mendengar ketulusan Arimbi, Kunti segera merias Arimbi dan berganti wujudlah dia menjadi seorang putri yang sangat mempesona. Bima akhirnya mau menjadi istri Arimbi.
Prabu Arimba yang mencari adiknya karena lama tidak kembali, segera bertemu dengan Arimbi. Dan betapa terkejutnya dia setelah mengetahui jika calon santapannya telah menjadi suami dari Arimbi. Yang menjadikan Prabu Arimba semakin marah adalah bahwa Bima adalah putra Pandu yang berarti musuh. Pandu dan ayah Prabu Arimba, Prabu Tremboko, pernah terlibat peperangan besar yang akhirnya berakhir dengan gugurnya Tremboko.  Sebenarnya kedua raja ini dulu sangat rukun karena Prabu Tremboko adalah murid dari Prabu Pandu, namun karena tipu muslihat Harya Suman kedua negara ini terlibat pertempuran.
Arimba yang merasa sangat marah berusaha membunuh Bima. Dan kedua pemuda ini saling adu kesaktian dan berakhir dengan kematian Arimba. Mengetahui kematian Arimba, adik-adik Arimba yang lain bersumpah untuk tidak akan naik tahta dan memberikan tahta kepada keturunan Arimbi walaupun dia seorang perempuan.  Dan begitulah akhirnya pertemuan antara Bima dan Arimbi.
Di masa kelahiran Gatotkaca, tali pusar dari bayi Gathotkaca tidak bisa dipotong dengan segala senjata tajam maupun semua pusaka yang ada. Atas petunjuk Prabu Krisna, Arjuna diperintah untuk mendapatkan pusaka dewa yang bernama Kuntawijayandanu. Berangkatlah Arjuna mencari pusaka tersebut. Ternyata yang akan memberikan pusaka tersebut adalah Batara Narada. Di saat yang bersamaan, Suryatmaja, yang kelak bergelar Adipati Karna, juga berusaha memperoleh pusaka tersebut. Sebenarnya pusaka tersebut digariskan untuk diberikan kepada Arjuna. Akan tetapi, Suryatmaja datang lebih dulu dan wajahnya sangat mirip dengan Arjuna karena Suryatmaja sebenarnya adalah juga anak dari Kunti. Pusaka Kuntawijayandanu akhirnya diberikan kepada Suryatmaja. Arjuna yang ternyata baru saja datang menjadikan batara Narada merasa sangat kecewa karena dia salah memberikan pusaka. Arjuna akhirnya hanya diberikan warangka dari pusaka tersebut untuk memotong tali pusar bayi putra Bima. Tali pusar bayi tersebut akhirnya dapat dipotong, namun warangka dari pusaka Kuntawijayandanu malah ikut masuk ke dalam pusar bayi tersebut.
Walau baru saja dilahirkan, Gathotkaca sudah menjadi jago dari para dewa. Ini dimulai dari peristiwa diserangnya Kahyangan Jonggirisaloka oleh prajurit yang dipimpin oleh patih Sekipu. Mereka mengemban tugas dari Prabu Kagapracona yang ingin memperistri bidadari yang bernama dewi Lenglengdanu dan Gagarmayang. Karena dewa tidak mengijinkan maka prabu Kagapracona marah dan menyatakan perang jika dewa tidak mengijinkan dia untuk memboyong kedua bidadari tersebut.
Semua dewa-dewa di kahyangan tidak ada yang bisa menandingi kesaktian dari patih Sekipu. Raja dari para dewa, Batara Guru, segera memerintahkan patihnya, Batara Narada, untuk mencari bantuan di marcapada. Batara Guru memberi tahu Narada bahwa saat ini Arimbi baru saja melahirkan seorang putra dan bayi tersebut diramalkan akan mampu menanggulangi musuh dari kahyangan tersebut.
 Tidak berapa lama tibalah Batara Narada di tempat Arimbi melahirkan seorang putra. Di tempat itu ternyata tidak diselimuti rasa senang karena hadirnya seorang anggota keluarga baru. Namun yang terjadi Bima malah merasa sangat sedih atas kelahiran anaknya yang dia beri nama Bambang Tetuka. Hal ini dikarenakan bayi yang dilahirkan oleh Arimbi berwujud raksasa seperti keadaan ibunya dulu. Batara Narada segera mengungkapkan maksud kedatangannya untuk meminjam bayi tersebut untuk dijadikan jago dewa. Bima pun sedikit merasa bahagia karena walaupun Bambang Tetuka berwujud raksasa tetapi sudah bisa membantu para dewa.
Setibanya di kahyangan, atas petunjuk Batara Guru, bayi putra Bima dengan Arimbi tersebut dimasukkan dalam kawah Candradimuka dan dilebur dengan pusaka-pusaka dewa. Semakin lama bayi tersebut bercampur dengan pusaka dewa dan menjadi seorang pemuda yang berwajah angker. Oleh Batara Guru dia diberi tugas untuk membasmi musuh kahyangan dan bila Tetuka dapat menyelesaikan tugasnya, dia dijanjikan akan menjadi raja di kahyangan walaupun hanya sebentar dengan gelar Prabu Guruputra. Tetuka juga dijelaskan bahwa dia memiliki raga yang bagaikan besi karena dia dilebur dengan pusaka dewa, dan dia memiliki berbagai pusaka yang menyatu dengan busananya, antara lain Antrakusuma, Caping Basunanda dan busana yang lain. Tetuka juga diberi nama lain Gathotkaca oleh Bathara Guru dan Bathara Narada.
Tibalah saatnya Gathotkaca bertempur melawan patih Sekipu. Pertempuran terjadi sangat sengit karena keduanya juga sangat sakti. Akhirnya Gathotkaca yang memiliki kesaktian bisa terbang, segera melesat ke udara dan menggigit leher patih Sekipu hingga putus. Batara Narada yang mengetahui hal ini segera menghampiri Gathotkaca untuk meninggalkan semua watak raksasanya, karena walaupun Gathotkaca terlahir menjadi raksasa tetapi dia adalah satria. Batara Narada juga memberikan topeng yang bersatu dengan wajah Gathotkaca agar wajah asli Gathotkaca dapat tertutupi. Namun apabila Gathotkaca sudah merasa sangat marah dia akan tiwikrama kembali berwujud menjadi raksasa garang.
Mengetahui patihnya telah tiada, Prabu Kagapracona menjadi sangat marah dan menyerang dengan membabi buta seraya mencari Gathotkaca. Terjadilah pertempuran antara Gathotkaca dan Kagapracona. Pertempuran tersebut akhirnya berakhir ketika Gathotkaca memuntir kepala Kagapracona hingga putus, dan sejak itu pula Gathotkaca dikenal sangat menakutkan di mata musuhnya ketika dia membunuh musuh dengan memuntir kepala lawan hingga putus dengan tangan kosong. Akhirnya musuh kahyangan dapat diatasi dan sesuai janji Bathara Guru, Gathotkaca suatu ketika dijadikan raja di kahyangan Kaendran dengan gelar Prabu Guruputra.
Tidak berapa lama tibalah saatnya Gathotkaca untuk naik tahta di negara Pringgondani. Karena rakyat Pringgondani tidak boleh berlama-lama hidup tanpa hadirnya seorang raja. Sejak kematian Prabu Arimba, negara Pringgondani tidak memiliki seorang raja, dan hanya dijalankan oleh adik-adik Arimbi yang dikenal sebagai kadang Braja untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Walaupun Gathotkaca masih sangat muda, karena sebenarnya untuk jangka waktu normal dia masih seorang anak balita, tetapi sudah dianggap mampu memerintah negara karena pernah menjadi raja di kahyangan.
Para Kurawa yang juga mendengar kabar tersebut menjadi sangat gelisah karena kekuatan Pandawa
tentu akan menjadi semakin kuat. Akhirnya Doryudana sepakat untuk memerintah patih Sengkuni dan Resi Durna untuk pergi ke kediaman adik-adik Arimbi untuk memengaruhi mereka agar tidak menyetujui Gathotkaca menjadi raja. Berangkatlah Sengkuni dan Durna ke Kadipaten Premalang tempat kediaman adik-adik Arimbi biasa berkumpul, diiringi oleh para Kurawa dan dikawal oleh prajurit Hastina. Sesampainya di sana, sudah berkumpul Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana membicarakan tentang persiapan kenaikan tahta keponakannya. Sengkuni dan Durna segera menerapkan politik adu dombanya kepada para kadang Braja agar tidak menyetujui Gathotkaca menjadi raja karena yang layak menjadi raja itu sebenarnya adalah salah satu dari kadang Braja tersebut.
Karena kepintaran merangkai kata kedua utusan Hastina tersebut, Brajadenta termakan hasutan mereka. Terjadilah perpecahan di antara mereka sendiri, Brajadenta tidak menyetujui Gathotkaca menjadi raja, sedangkan Brajamusti dan Kalabendana merasa Gathotkaca memang harus menjadi raja, Brajawikalpa dan Brajalamatan hanya bersikap netral terhadap peristiwa ini. Brajamusti dan Kalabendana akhirnya diusir dari kadipaten Premalang bahkan terlibat pertempuran dengan prajurit Premalang yang bergabung dengan para Kurawa dan prajurit Hastina.
Brajamusti dan Kalabendana segera bergegas menuju ke Pringgondani untuk memberi tahu Arimbi dan para Pandawa bahwa Brajadenta akan membangkang dan berniat menjadi raja. Tidak berapa lama munculah para prajurit Premalang, para Kurawa dan prajurit Hastina yang hendak menyerang Pringgondani. Timbulah pertempuran saudara yang besar di kraton Pringgondani itu sendiri. Semua kesatria Pandawa dan Gathotkaca sendiri tidak dapat menandingi kesaktian Brajadenta. Mengetahui hal ini Brajamusti segera menghampiri Gathotkaca dan membawanya ke luar medan pertempuran. Brajamusti menceritakan bahwa sebenarnya Brajadenta dan Brajamusti adalah dua buah ajian milik Prabu Tremboko yang dulu diberikan oleh Prabu Pandu. Karena nafsu Prabu Tremboko yang saat itu pulang di istana melihat istrinya, kedua buah ajian yang baru saja diberikan oleh Prabu Pandu berubah menjadi dua bayi raksasa yang sakti. Maka bila ingin membunuh Brajadenta, Brajamusti juga harus sirna.
Mendengar pernyataan pamannya tersebut, Gathotkaca merasa sangat sedih. Brajamusti merasa marah melihat kesedihan keponakannya itu, karena sebagai seorang pemimpin pengorbanan itu sangat perlu demi keamanan bangsa. Akhirnya Gathotkaca mau melakukan apa saja agar pertempuran di Pringgondani dapat terselesaikan. Brajamusti memberikan arahan agar pada saat Gathotkaca berhadapan dengan Brajadenta, Gathotkaca harus mencengkeram kepala Brajadenta dan Brajamusti secara bersamaan dan membenturkan kedua kepala mereka. Dengan hati berat Gathotkaca menyetujui hal tersebut dan maju ke medan pertempuran mencari Brajadenta.
Setelah berhadapan dengan Brajadenta terjadilah perkelahian di antara mereka. Akhirnya Gathotkaca dapat melemahkan Brajadenta dan mencengkeram kepalanya, disaat bersamaan Brajamusti segera menghampiri Gathotkaca seraya menyodorkan kepalanya. Gathotkaca dengan sekuat tenaga membenturkan kepala kedua pamannya tersebut hingga kedua kepala tersebut hancur berkeping-keping dan Gathotkaca bermandikan darah yang muncrat dari pecahnya kepala kedua pamannya. Bersamaan dengan hancurnya kepala mereka, raga Brajadenta dan Brajamusti menghilang dan kembali menjadi wujud ajian. Ajian tersebut masuk ke dalam kedua telapak tangan Gathotkaca dan dikenal sebagai Aji Brajamusti.  Selesailah pertempuran yang terjadi di Pringgondani. Kurawa yang menjadi akar masalah kembali ke Hastina secara diam-diam. Prajurit Premalang kembali menyatu dengan Pringgondani. Brajalamatan diangkat menjadi patih di Pringgondani bergelar patih Prabakesa dan Brajawikalpa diangkat menjadi senopati.
Gathotkaca merupakan sebuah mesin pembunuh milik keluarga Pandawa. Yang dia pikirkan setiap hari hanyalah membunuh musuh. Sejak lahir Gathotkaca tidak pernah merasakan indahnya masa bermain, yang dia tahu hanyalah sebuah realita peperangan yang setiap kali dia alami. Akan tetapi, Gathotkaca pernah mengalami perasaan manusia seutuhnya ketika dia mencintai Endang Pregiwa putri dari Arjuna.
Sebenarnya antara Bima dan Arjuna sudah menyetujui pernikahan antara Gathotkaca dengan Pregiwa. Akan tetapi putra dari prabu Doryudana yang bernama Sarojakusuma juga menginginkan Pregiwa untuk menjadi istrinya. Melihat keinginan putranya, prabu Doryudana mengutus Resi Durna untuk melamar Pregiwa. Arjuna akhirnya menerima lamaran dari Resi Durna karena Resi Durna adalah gurunya dan apabila Arjuna tidak menerima lamaran tersebut, dia diancam bahwa semua ilmu yang sudah diberikan akan diambil kembali.
Mengerti bahwa Pregiwa yang dicintainya akan menikah dengan orang lain, Gathotkaca bingung dalam mengungkapkan perasaan yang dirasakannya. Dia segera melesat ke angkasa dan menjatuhkan dirinya dengan menukik ke bebatuan agar dirinya hancur. Akan tetapi walaupun sudah dilakukan berkali-kali hingga suara gemuruhnya menimbulkan kepanikan penduduk sekitar, badannya tetap tidak hancur karena raganya terbuat dari pusaka-pusaka dewa. Prabu Kresna yang mengetahui hal ini segera menghampiri Gathotkaca untuk menghentikan tingkah lakunya itu. Prabu Kresna memberikan saran jika Gathotkaca benar-benar mencintai Pregiwa bukankah Gathotkaca dapat menculiknya dari Sarojakusuma, toh Pregiwa juga lebih menerima Gathotkaca.
Berangkatlah Gathotkaca menculik Pregiwa. Para Kurawa geger karena hilangnya calon pengantin wanita. Dengan beberapa penyelesaian akhirnya Sarojakusuma mengaku kalah dan menerima dengan hati berat Pregiwa menjadi jodoh Gathotkaca. Akhirnya Gathotkaca menikah dengan Pregiwa dan menjadikan dia sebagai permaisuri dan berputra Raden Sasikirana. Selain Pregiwa Gathotkaca juga memiliki istri lain yaitu Suryawati yang merupakan seorang dewi kahyangan putra dari Batara Surya dan Sempani yang mencintai Gathotkaca hanya dengan lewat mimpinya.
Sebagai seorang satria, seakan Gathotkaca tidak memiliki kekurangan dalam perilaku dalam hidupnya. Namun sebagai seorang titah, dia juga banyak melakukan kesalahan-kesalahan bahkan hingga kejahatan yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Gathotkaca sebenarnya adalah seorang raksasa. Kesalahan terbesar dalam hidup Gathotkaca adalah pada saat dia diperintah oleh Prabu Kresna untuk menjaga Siti Sendari. Dalam peristiwa ini Gathotkaca akan mendapatkan karma di kemudian hari yang berujung pada ajalnya.
Peristiwa ini bermula ketika Abimanyu, adik sepupu Gathotkaca, diperintah oleh Prabu Kresna untuk menikahi Utari yang sebenarnya secara silsilah adalah adik sepupu eyang Abimanyu sendiri. Padahal waktu itu Abimanyu baru saja menikah dengan Siti Sendari yang sebenarnya adalah putri dari Prabu Kresna. Abimanyu diperintahkan untuk menikahi Utari adalah dengan alasan bahwa Abimanyu memiliki wahyu Wijining Ratu, sedangkan Utari memiliki wahyu Baboning Ratu. Apabila kedua orang ini disatukan, maka akan lahir keturunan raja yang kuat. Dan menurut Babad Tanah Djawa, raja-raja Jawa hingga saat ini masih satu garis keturunan dengan Abimanyu dan Utari tersebut.
Agar Siti Sendari tidak tahu bila Abimanyu menikah lagi, maka Gathotkaca diberi tugas untuk menjaga Siti Sendari. Tugas Gathotkaca adalah hanya menjaga rahasia agar pernikahan Abimanyu dengan Utari tidak diketahui oleh Siti Sendari. Akan tetapi hal ini menjadi runyam ketika Kalabendana melakukan hal yang tidak pernah terkira oleh Gathotkaca sebelumnya.
Kalabendana adalah paman dari Gathotkaca. Dia adalah raksasa yang kerdil, tangannya cacat, berbicaranya tidak terlalu jelas, tidak memiliki kesaktian apapun, namun dia sangat jujur dan lugu. Selain itu Kalabendana juga sangat menyayangi Gathotkaca. Oleh karena itu, kemanapun Gathotkaca pergi Kalabendana selalu menemani keponakannya tersebut. Akan tetapi sifat jujur dan lugu Kalabendana ini menimbulkan bencana.
Ketika secara tidak sengaja Kalabendana mengetahui bahwa Abimanyu menikah lagi dengan Utari. Kalabendana segera menghampiri Siti Sendari dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar hal tersebut Siti Sendari sangat sedih karena dia dan Abimanyu baru saja menikah. Gathotkaca yang tidak sempat mencegah pamannya untuk tidak mengatakan bahwa Abimanyu menikah lagi langsung naik darah. Kalabendana yang berwujud raksasa kerdil tersebut segera diseret oleh Gathotkaca keluar istana. Tanpa mengatakan apa-apa Gathotkaca menghajar Kalabendana dengan membabi buta. Sebagai seorang raksasa yang tidak memiliki kesaktian apa-apa, menerima terjangan seorang satria yang kesaktiannya begitu dahsyat, tentu saja Kalabendana dengan mudahnya meregang nyawa dengan badan yang hancur lebur.
Setelah menyadari apa yang diperbuatnya dan mengetahui bahwa pamannya sudah tiada, Gathotkaca merasa sangat sedih dan menyesal. Di tengah-tengah meratapi kepergian pamannya, muncul suara Kalabendana namun tanpa ada wujudnya, itulah suksma Kalabendana. Suksma Kalabendana mengatakan bahwa dia tidak akan masuk ke nirwana jika tidak bersama dengan keponakan kesayangannya, dan Kalabendana akan menjemput Gathotkaca dalam perang besar antara Pandawa dan Kurawa, yang kelak dikenal dengan perang Baratayuda.
Dalam perjalanan pemerintahannya, Gathotkaca memiliki musuh bebuyutan yang sebenarnya masih saudaranya sendiri. Dia adalah Prabu Sitija Bomanarakasura putra Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi. Perselisihan mereka dimulai ketika kedua raja muda ini berebut daerah kekuasaan di daerah Kikis Tunggarana. Memang kedua kerajaan mereka berbatasan wilayah sehingga rentan berebut kekuasaan. Perkelahian antara kedua raja muda tersebut tidak dapat dihindari. Prabu Sitija sangat sakti karena dia memiliki aji Pancasonya yang artinya selama dia masih di atas bumi, dia tidak akan mati. Akhirnya pertempuran berakhir setelah topeng pemberian Bathara Narada yang diberikan ke
pada Gathotkaca pecah dan terlihat wajah asli raksasanya. Gathotkaca malu dan meninggalkan pertempuran.
Setelah Prabu Kresna mengetahui hal tersebut, kedua raja tersebut akhirnya dapat berunding dengan damai. Dan wilayah Kikis Tunggarana menjadi milik Pringgondani. Wajah raksasa Gathotkaca juga dapat ditanggulangi dengan topeng yang menjadi satu dengan wajah Gathotkaca, sehingga tidak akan pecah karena topeng itu sudah menjadi wajah Gathotkaca. Walaupun dalam peristiwa tersebut mereka sudah berdamai, namun kedua raja muda ini setiap kali bertemu pasti akan terlibat dalam sebuah pertempuran.
Setelah beberapa lama, tibalah terjadinya perang besar antara Pandawa dan Kurawa. Peperangan dimulai sejak setelah terakhir kalinya Pandawa meminta separuh negara dan tidak diberikan oleh Kurawa, dan bahkan Prabu Kresna yang menjadi duta para Pandawa diberlakukan secara tidak hormat di Hastina. Sejak saat itu kedua pihak menyatakan perang. Perang ini disepakati dilaksanakan di padang Kurusetra. Kedua pihak menerjunkan prajurit yang begitu banyak bersama dengan bala bantuan masing-masing pihak. Di pihak Kurawa terdapat 11 aksohini atau 2.405.700 prajurit dan di pihak Pandawa terdapat 7 aksohini atau 1.530.900 prajurit. Pertempuran terjadi sangat sengit dan banyak kesatria yang gugur dalam pertempuran yang dahsyat tersebut.
Tepat di hari ke-15, pasukan dari Awangga yang dipimpin oleh Adipati Karna menyerang Pandawa di malam hari. Sebenarnya hal ini menyalahi aturan perang, akan tetapi dalam keadaan yang sangat penuh emosi tentu segala hal dapat terjadi. Mengetahui hal ini, secara darurat Pandawa dan Prabu Kresna segera berunding untuk menetapkan siapakah senopati yang tepat untuk memimpin pasukan menghadapi Adipati Karna. Prabu Kresna memilih Gathotkaca untuk menghadapi Adipati Karna. Semua orang tahu bahwa ini hanyalah politik Prabu Kresna untuk melemahkan Adipati Karna dengan mengorbankan Gathotkaca. Karena apabila sudah terdesak, maka Adipati Karna dipastikan akan melepaskan pusaka Kuntawijayandanu dan pusaka tersebut hanya bisa dipakai sekali. Jika sudah dilemahkan maka nantinya akan lebih mudah menggugurkan Adipati Karna yang dikenal sebagai senopati yang kuat di pihak Kurawa karena dia putra Batara Surya dengan Kunti.
Menerima perintah dari Pandawa lewat Prabu Kresna untuk menjadi senopati, Gathotkaca merasa bahagia walaupun dia tahu bahwa dia dijadikan tumbal di malam itu. Setelah berpamitan dengan ibunya, Arimbi, Gathotkaca segera menyiapkan pasukannya. Pasukan Gathotkaca terdiri dari raksasa-raksasa ganas negara Pringgondani yang didampingi oleh patih Prabakesa dan Brajawikalpa yang merupakan paman dari Gathotkaca sendiri. Setelah persiapan yang singkat dan dirasa cukup, Gathotkaca segera memerintahkan pasukannya untuk maju dan dia sendiri segera melesat ke angkasa. Terjadilah pertempuran yang brutal. Pasukan Awangga yang dipimpin oleh Adipati Karna juga terdiri dari pasukan raksasa seperti halnya pasukan Pringgondani. Pertempuran antar raksasa tersebut terlihat sangat sadis karena mereka sudah melepaskan baju perang dan senjatanya, yang terjadi hanyalah saling menggigit dan saling mencakar yang penting diri mereka sendiri dapat bertahan di pertempuran tersebut. Sudah tidak terlihat mana kawan mana lawan karena semua sama dan ditambah pertempuran tersebut terjadi di malam hari.
Gathotkaca sendiri bingung menyaksikan keadaan pertempuran di saat itu karena tidak terlihat mana
pasukan Pringgondani atau mana pasukan Awangga. Dengan segenap amarahnya Gathotkaca memuntir semua kepala raksasa tanpa pandang bulu apakah dia kawan atau lawan. Yang masih dia kenali adalah kedua pamannya yakni Prabakesa dan Brajawikalpa. Adipati Karna yang berada di atas keretanya dan berada sedikit mundur dari pertempuran merasa ngeri melihat kesadisan Gathotkaca yang dengan mudahnya memenggal setiap kepala raksasa dengan tangan kosong hingga bermandikan darah segar. Tanpa disadari pasukan Awangga terpukul mundur dan hampir habis karena keganasan Gathotkaca. Adipati Karna yang merasa terancam segera mengeluarkan pusaka Kuntawijayandanu dan membidikkannya ke arah badan Gathotkaca. Mengerti dibidik dengan pusaka Kuntawijayandanu, Gathotkaca segera melesat ke angkasa setinggi-tingginya dan menggulung awan agar pusaka tersebut tidak sampai ke badannya.
Pusaka Kuntawijayandanu yang telah melesat ke arah Gathotkaca semakin lama semakin melemah kecepatannya, dan belum sampai menyentuh tubuh Gathotkaca pusaka tersebut akan terjatuh lagi ke tanah. Akan tetapi bersamaan dengan hal itu, munculah suksma Kalabendana membawa pusaka Kuntawijayandanu yang akan terjatuh lagi ke tanah. Kalabendana menyatakan bahwa inilah saatnya Gathotkaca untuk menuju nirwana bersama Kalabendana. Gathotkaca menerima dengan ikhlas hal itu, dengan perlahan dia membuka baju perangnya dan mempersilakan Kalabendana untuk menancapkan pusaka Kuntawjayandanu tepat di pusarnya. Inilah saatnya pusaka Kuntawijayandanu kembali ke warangkanya, karena dahulu ketika Gathotkaca lahir warangka pusaka tersebut masuk ke dalam pusar Gathotkaca.
Raja muda Pringgondani itu akhirnya gugur. Raga Gathotkaca yang telah ditinggal sukmanya berubah menjadi besi yang sangat berat dan menjatuhi kereta dan pasukan Awangga yang masih tersisa. Untung Adipati Karna bisa segera melompat dan berlari ketakutan menuju pesanggrahan para Kurawa, karena apabila tidak Adipati Karna juga akan ikut menemui ajal. Pasukan Awangga habis tanpa sisa, pasukan Pringgondani sangat sedih melihat rajanya yang sangat dihormatinya telah menjadi seonggok besi berbentuk manusia.
Arimbi segera memeluk jenazah putra yang sangat dicintainya tersebut. Bima hanya mematung melihat Gathotkaca yang merupakan putra terakhir yang masih tersisa akhirnya gugur juga. Semua keluarga Pandawa merasa sangat sedih akan gugurnya Gathotkaca. Seperti yang diketahui sebelumnya, Gathotkaca terlahir hanya sebagai mesin pembunuh, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan dengan kebebasan yang ada dalam dirinya. Saat di usia sebayanya bermain perang-perangan, dia sudah terjun memimpin pasukan dan bersimbah darah. Gathotkaca tidak pernah merasakan indahnya masa kanak-kanak seperti halnya Ontorejo maupun Ontoseno. Inilah yang menjadikan Pandawa semakin sedih. Di lain pihak Prabu Kresna malah tersenyum melihat jenazah Gathotkaca, karena ini menjanjikan kemenangan bagi Pandawa sebab Adipati Karna sudah dapat dipastikan sudah lemah kekuatannya tidak sekuat sebelumnya.

Kamis, 27 Desember 2012

Sri Krishna dalam Jawa

Sri Krishna atau Prabu Kresna.....
Apa yang anda pikirkan tentang tokoh ini?

Sangat dimaklumi jika tokoh yang satu ini sangat diagung-agungkan keberadaannya. Dalam kitab asli Mahabarata, Sri Krishna merupakan seorang tokoh titisan dewa Wishnu yang menjelma ke bumi pada masa sejaman dengan keberadaan Pandawa dan Kurawa.

Namun, dalam mitologi Jawa, Prabu Kresna memang diagungkan seperti yang kita ketahui dalam mitologi Hindu India, tetapi terdapat beberapa hal yang menjadikan tokok Kresna ini menjadi tokoh yang malah terkesan agak licik daripada tokoh yang terkesan agung.

Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh keberadaan masuknya Islam di tanah Jawa dan proses akulturasi dan asimilasi yang terjadi dalam masyarakat Jawa pada waktu itu. Tanpa dilakukan pendekatan yang bernuansa budaya, mungkin perkembangan Islam di tanah Jawa tidak akan menjadi seperti yang kita ketahui saat ini. Memang sungguh luar biasa kepiawaian Sunan Kalijaga dalam memasukkan unsur Islam di dalam cerita wayang dalam rangka sebagai sarana dakwahnya.

Prabu Kresna di dalam mitologi Jawa adalah titisan dari Wisnu (sama seperti aslinya), namun Wisnu sendiri dalam pewayangan merupakan putra dari Sang Hyang Guru atau yang lebih dikenal sebagai Bathara Guru. Dalam hal ini mungkin dapat disimpulkan bahwa masyarakat saat itu menganut sistem Hindu Syiwa. Dan hal itu terbukti dalam penempatan Syiwa, yang dalam hal ini ditokohkan dengan nama Bathara Guru, sebagai raja dari semua alam raya. Namun, hal ini tidak cuma berhenti di sini saja, karena Bathara Guru adalah putra dari Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal adalah putra dari Sang Hyang Wenang. Dan Sang Hyang Wenang adalah cucu dari Sang Hyang Nurcahya.

Siapakah Sang Hyang Nurcahya? Dalam pewayangan Jawa, dia adalah putra kedua dari nabi Sis putra Adam. Karena saat itu nabi Sis berputra dua, yang pertama berwujud manusia biasa, dan yang kedua berwujud cahaya (nur). Putra kedua ini ingin memiliki hal yang sama seperti manusia. Untuk mencapainya maka dia melakukan suatu meditasi mencari kesejatian diri. Dan pada akhirnya dia dapat membangun suatu Istana di atas suatu gunung namun tidak menapak tanah. Istana itu katanya berwujud gaib. Istana itulah yang nantinya menjadi istana kedewataan Jonggiri Saloka.

Jadi dalam hal ini, pengaruh Islam sangat kuat terhadap mitologi kisah pewayangan yang ada di Jawa. Bathara Guru (Siwa) sendiri, digambarkan sebagai setengah manusia yang diliputi berbagai kekurangan. Baik secara fisik maupun tingkah lakunya yang terkadang cenderung salah. Sebagai contoh, secara fisik Bathara Guru banyak memiliki kekurangan, misalnya tangannya yang berjumlah empat, kakinya yang pepes (polio), lehernya berwarna nila, dan memiliki siung seperti halnya seorang raksasa.

Kembali kepada Prabu Kresna, dalam kisah pewayangan dia juga merupakan reinkarnasi dari Prabu Ramawijaya. Dalam lakon Makutharama, digabungkanlah antara cerita Ramayana dengan Mahabarata. Ramawijaya atau dalam hal ini Kresna memberikan suatu wahyu ajaran Astabrata kepada Arjuna. Untuk rincian Astabrata akan dibahas pada kesempatan lain. Dalam perjalanannya memberikan wahyu, dia juga didatangi oleh Anoman & Wibisana yang meminta kasampurnaning urip atau kematian. Dalam cerita ini juga dikisahkan ketika Wibisana belum dapat menuju surga karena mendengar tangisan saudaranya Kumbakarna yang kemudian bersatu dalam diri Bima.

Kisah perang Gojalisuta juga menunjukkan bahwa Kresna merupakan seorang orangtua yang kurang baik. Hal ini dikarenakan, sangat terlihat sekali jika dia sangat memanjakkan salah seorang putranya (Samba), sehingga tega membinasakan putranya yang lain (Bomanarakasura). Kisah perang ini terjadi karena pada saat itu Samba mengadu cinta dengan istri Bomanarakasura secara diam-diam. Mengetahui hal ini Bomanarakasura tentu saja geram dan terjadilah lakon Samba Juwing. Bomanarakasura memotong-motong badan Samba dan Kresna tidak terima akan hal ini, karena Samba adalah calon penggantinya. Setelah dia menghidupkan kembali Samba, dia berperang dengan putranya sendiri Bomanarakasura. Saat itu memang Bomanarakasura sudah menjadi raja. Dia menjadi raja atas hasil keringatnya sendiri karena dia berada jauh dengan orangtuanya yang diagung-agungkan karena titisan dewa. Namun, sepertinya Kresna tetap tidak mengindahkan kemandirian dan keuletan anak sulungnya itu. Hingga pada akhirnya negara milik Bomanarakasura hancur bersamaan dengan kematiannya.

Kehidupan asmaranya pun terlihat kurang terpuji. Hal ini dikarenakan Kresna menculik seorang putri idamannya untuk dijadikan istrinya. Terdapat dalam lakon Narayana Maling.

Sebelum perang Baratayuda, Kresna juga diceritakan sangat licik karena saat dia mengetahui isi kitab Jitabsara (jalan cerita Baratayuda), dia melihat bahwa kakaknya yang bernama Baladewa akan melawan putra Bima yang bernama Antareja. Khawatir jika kakaknya akan gugur dalam perang, maka Kresna mengelabuhi takdir itu dengan menyuruh Antareja untuk menjilat jejak kakinya sendiri. Sebenarnya Antareja sudah tahu jika ini merupakan perintah bagi Antareja untuk bunuh diri, karena Antareja adalah satria yang sangat sakti dan mewarisi kemampuan eyangnya Antaboga (dewa ular/naga) yang menjaga bumi di sapta pratala. Jika dia menjilat jejak kaki orang, maka orang itu akan mati. Dan karena ini adalah perintah, maka Antareja menjilat jejak kakinya sendiri dan mati. Baladewa kemudian disuruh Kresna untuk bertapa selama perang Baratayuda dengan alasan yang dibuat oleh Kresna sendiri. Hal ini membuktikan bahwa Kresna bersifat sangat licik.

Kresna yang ada di Jawa sangat berbeda dengan yang ada dalam kitab asli Mahabarata. Namun, itu bukanlah persoalan tetapi lebih dianggap sebagai suatu keragaman budaya. Karena budaya tidak akan melalui proses stagnasi, tetapi selalu berkembang sesuai dengan berbagai hal yang mempengaruhinya.

Ada satu keunikan yang dapat kita ambil dari hal ini. Dalam pewayangan Jawa, semua tokoh memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pandawa yang dilambangkan sebagai tokoh protagonis juga memiliki berbagai kekurangan bahkan kadang-kadang menjadi antagonis. Sedangkan Kurawa yang dilambangkan sebagai tokoh antagonis kadang-kadang juga sering menjadi protagonis dengan kelebihan dan kebaikannya. Hal ini sangat relevan dengan kehidupan manusia yang realistis.

Rabu, 26 Desember 2012

Daftar Nama Istri Arjuna yg Berputra

Daftar ini hanya berdasarkan setahu saya......
he...he...he...

Berikut infonya :

Sembadra = Abimanyu

Drestanala = Wisanggeni

Wilutama = Wilugangga

Banowati = Lesmanawati

Supraba = Prabakusuma

Ulupi = Irawan

Manuhara = Pregiwa dan Pregiwati

Antakawati = Antakadewa

Larasati = Brantalaras

Gandawati = Gandawardaya

Juwitaningrat = Senggoto

Jimambang = Kumaladewa dan Kumalasekti

Pamegatsih = Pamegatrisna

Ratri = Wijanarka

Sulastri = Sumitra


Memang lumayan banyak istri Janoko. Belum lagi istri yang tidak punya keturunan seperti Srikandi.....
ha...ha...ha..

(kalo ada salah nyuwun ngapunten)

Selasa, 11 Oktober 2011

Serat Pararaton

Dalam kisah pembuka diceritakan bahwa Ken Angrok kecil yang rela menjadikan dirinya sebagai kurban persembahan kepada sebuah gapura besar sebagai pengganti seekor kambing berbulu merah yang tidak berhasil didapatkan oleh Empu Tapawengkeng. Tetapi ia meminta supaya kelak ia dapat pulang kembali kepada dewa Wisnu dan dapat ber-reinkarnasi kembali. Kisah pun berganti dengan Dewa Brahma yang sedang berputar-putar mencari seorang wanita yang layak ditanami benih calon raja di bumi, dan sang dewa pun bertemu dengan seorang wanita yang baru saja menikah Ken Endok. Sang Dewa lalu menggauli Ken Endok dan menyuruh kepada Ken Endok supaya tidak bercerita kepada siapapun perihal peristiwa ini dan melarang ia untuk bersenggama dengan suaminya. Dewa Brahma pun mengancam Ken Endok apabila ia tidak mampu menjaga rahasia ini maka suaminya akan mati . Ken Endok pun menceritakan peristiwa itu dan menceraikan suaminya, dan tak lama kemudian suaminya itu meninggal dan lahirlah seorang Ken Angrok dari rahim Ken Endok. Lalu oleh Ken Endok bayi itu dibuang ke kuburan dan akhirnya ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri yang bernama Lembong.

Dalam kisah pendahuluan dari Serat Pararaton nuansa legitimasi akan Ken Angrok sudah sangat kental. Dia yang disebut sebagai anak dewa dan memiliki kekuatan gaib yang sangat kuat sudah dipaparkan dalam halaman-halaman awal Serat Pararaton. Dalam mitos jawa, keturunan raja kelak pastilah juga menjadi raja. Dan Ken Angrok telah dilegitimasi sebagai keturunan Dewa Brahma, yang berarti juga Hymelegitimasi para keturunan-keturunan Ken Angrok di masa sesudahnya memiliki darah sang dewa. Sehingga bisa dipastikan yang menjadi asal-usul legitimasi dalam Serat Pararaton ini bukan garis keturunan Dewa Brahma, melainkan garis keturunan Ken Angrok.

Kisah Pararaton lalu berlanjut pada pertemuan Ken Angrok dengan Dang Hyang Lohgawe, seorang brahmana yang berasal dari Jambudwipa dan bertugas memastikan perintah Bhatara Wisnu dapat terlaksana. Dang Hyang Lohgawe mendapatkan tugas dari Bhatara Wisnu untuk membimbing Ken Angrok hingga menjadi raja di Jawadwipa kelak. Dang Hyang Lohgawe dan Ken Angrok pun akhirnya bekerja pada akuwu Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken Angrok bertemu dengan Ken Dedes, istri dari sang akuwu Tumapel dan melihat “barang rahasia” Ken Dedes yang menampakkan sinar.

Dari sepenggal kisah lanjutan dari Serat Pararaton ini dapat diketahui bahwa tujuan pengarang adalah untuk melegitimasi raja-raja Majapahit yang konon merupakan keturunan dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Hal ini terbukti dari penjelasan “barang rahasia Ken Dedes yang bersinar” adalah pengakuan akan diri seorang ardhanareswari pada diri Ken Dedes. Ardhanareswari adalah seorang wanita yang memiliki tuah akan menurunkan raja-raja dan membawa keberuntungan. Terbukti dari pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati dan Ranggawuni. Begitu juga dengan keturunan Ken Arok dan Ken Dedes yang mampu menurunkan Kertanegara, Raden Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayamwuruk, hingga Girindrawardhana sebagai raja terakhir Majapahit. Apabila Raden Patah juga merupakan anak dari Brawijaya yang juga merupakan keturunan Raden Wijaya, maka dapat dipastikan seluruh raja Demak, Pajang, hingga Mataram merupakan keturunan dari anak Dewa Brahma dan sang ardhanareswari.

Kisah ini pun berlanjut pada obsesi Ken Angrok untuk memiliki Ken Dedes. Dan intrik tentang kekuasaan pun dimulai dari sini, ketika niatan Ken Angrok bukan hanya menjadi suami bagi Ken Dedes, melainkan juga menjadi raja di Jawadwipa. Dengan meminta bantuan Empu Gandring untuk membuatkan sebuah keris sakti, Ken Angrok pun menggunakan machiavelisme dalam memperoleh apa yang ia inginkan. Karena tidak sabaran, maka sang pembuat keris pun ia bunuh karena tidak menyelesaikan keris dalam waktu yang ia inginkan. Kutukan pun terlontar dari mulut Empu Gandring yang menyatakan tujuh orang raja akan meninggal dengan keris yang sama.

Ken Angrok lalu meminjamkan keris itu kepada sahabatnya, Kebo Ijo. Sifat suka pamer Kebo Ijo ia manfaatkan dalam rencana kudeta politis nya terhadap Tunggul Ametung. Ketika Kebo Ijo sedang terlelap, ia pun mencurinya dan membunuh Tunggul Ametung malam itu juga. Dan tak lupa esok harinya ia memfitnah Kebo Ijo dan membunuhnya dengan keris itu pula. Intrik politik yang tidak jelas siapa kawan dan siapa lawan ditunjukkan oleh Ken Angrok dalam Serat Pararaton. Begitu juga dengan kudeta politis yang berdarah pun ia perkenalkan kepada seluruh anak bangsa yang sedang belajar mengenai sejarah Singhasari.

Ken Angrok lalu diangkat sebagai akuwu Tumapel yang baru menggantikan Tunggul Ametung. Dengan begitu maka Ken Dedes ikut menjadi istrinya pula. Situasi politis yang sedang tidak kondusif antara para brahmana dengan Prabu Dandanggendis (Raja Kertajaya) pun menjadi santapan empuk bagi Ken Angrok yang terobsesi menjadi penguasa Jawadwipa. Ketika itu Prabu Dandanggendis menghendaki agar para brahmana menyembah dirinya, karena ia berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyamai kehebatannya kecuali sang Bhatara Guru (Bhatara Siwa). Mendengar sesumbar sang prabu, Ken Angrok pun meminta restu kepada para brahmana untuk memakai nama Hyang Caturbuja alias Bhatara Guru untuk menyerang Daha. Pertempuran pun terjadi di sebelah utara Ganter dengan kemenangan di pihak Ken Angrok. Prabu Dandanggendis pun mengundurkan diri dari medan perang dan semua hal tentang Prabu Dandanggendis hilang ditelan bumi. Persitiwa itu diberi candrasengkala “warna-warna janma iku” atau 1144 çaka (1222 M) .

Keberhasilan Ken Angrok dalam memanfaatkan situasi politis di Daha membuatnya mampu memperbesar kekuasaanya dan memperluas pengaruhnya di Jawadwipa. Obsesinya untuk menjadi raja di Jawadwipa menjadi kenyataan. Seusai peperangan di desa Ganter, Ken Angrok merubah status Tumapel yang semula merupakan negara bagian dari kerajaan Daha (Kadiri) menjadi negara merdeka dengan nama Singhasari. Ia pun mengangkat dirinya sebagai raja pertama Singhasari yang bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi.

Sikap Ken Angrok yang tidak memperdulikan Anusapati membuat sang anak terheran-heran. Dengan segala rasa penasaran Anusapati bertanya kepada sang ibu perihal ketidak-adilan sikap ayahnya dalam memperlakukan dirinya. Dengan penuh penyesalan Ken Dedes menceritakan kisah kudeta berdarah Ken Angrok pada Anusapati. Mengetahui kisah tersebut membuat Anusapati naik darah dan membunuh Sang Amurwabumi saat itu juga dengan keris Empu Gandring pemberian ibunya. Dari sini dapat diketahui bahwa Ken Dedes juga turut berperan dalam konflik internal kerajaan Singhasari. Seorang ardhanareswari ternyata juga sangat licik, ambisius, dan mementingkan kekuasaan diri sendiri. Ken Angrok memang orang ia cintai, tapi bagaimanapun juga Ken Angrok telah membunuh suaminya yang telah mengangkatnya dari seorang putri brahmana di desa menjadi permaisuri yang mengetahui nikmatnya kekuasaan. Sehingga tak ada jalan lain kecuali merestui keinginan sang anak untuk membunuh Ken Angrok.

Anusapati pun menjadi raja menggantikan Ken Angrok. Ia memerintah dengan ditandai sengkalan “sirna swarna wani nata” yang bermakna 1170 çaka atau 1274 M. Selama memerintah ia dihantui oleh rasa balas dendam dari keturunan Ken Angrok, sehingga ia melapisi istananya dengan parit yang sangat dalam serta pengawalan yang sangat ketat. Hingga suatu hari Panji Tohjaya (anak dari Ken Angrok dengan selirnya, Ken Umang) mengajaknya mengikuti aduan ayam dan meminta izin untuk meminjam keris pusaka Empu Gandring milik ayahnya. Karena terlena oleh suasana aduan ayam, Anusapati menjadi tidak waspada lagi dan Panji Tohjaya segera memanfaatkan momen tersebut untuk menusuk jantung Anusapati.

Panji Tohjaya pun menjadi raja Singhasari berikutnya. Akibat hasutan dari pembantu setianya membuat Panji Tohjaya berniat untuk membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Namun kedua keponakannya justru mendapat dukungan kuat dari seluruh tentara Singhasari sehingga terjadilah pemberontakan yang akhirnya membuat Panji Tohjaya terluka parah dan meninggal karena luka-lukanya.

Ranggawuni pun akhirnya naik tahta menjadi raja Singhasari. Ia memimpin dengan gelar Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana . Saat Ranggawuni menjadi raja, maka Mahisa Campaka menjadi raja hanggabaya dengan gelar Bhatara Narasinga. Ranggawuni adalah putra dari Anusapati yang berarti cucu dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Sementara Mahisa Campaka adalah putra dari Mahisa Wongateleng yang berarti cucu dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Keduanya diibaratkan dwi-tunggal guna menyatukan antara pendukung Tunggul Ametung dengan pendukung Ken Angrok. Konflik Singhasari pun berakhir pada pemerintahan Ranggawuni sehingga ia akhirnya dapat meninggal tanpa harus terkena kutukan keris Empu Gandring.

Setelah Ranggawuni mangkat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Kertanegara. Ia memerintah dengan gelar Sri Maharaja Kertanegara. Pada masa kekuasaannya ia digambarkan sebagai pemimpin yang egois dan mementingkan perutnya. Ia adalah raja yang gemar pesta dan mabuk-mabukan.

Dalam pemerintahannya sempat terjadi reshuffle yang membuat banyak kalangan bhayangkara tidak puas. Antara lain Empu Raganata diturunkan dari jabatan rakryan patih menjadi adhyaksa. Penggantinya bernama Kebo Tengah atau Panji Aragani. Sedangkan Arya Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan demung menjadi bupati Sumenep. Panji Aragani digambarkan sebagai patih yang gemar pesta-pora, sehingga sang raja pun larut dalam pestanya. Ketika itu kebanyakan prajurit istana tengah dalam ekspedisi pamalayu, sehingga jumlah tentara di istana sangatlah sedikit. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Jayakatong yang saat itu menjadi raja di Daha untuk menyerang Singhasari. Kertanegara akhirnya tewas dalam pemberontakan Jayakatong dan dengan demikian berakhirlah sudah kerajaan Singhasari.

Sebuah akhir yang cukup tragis bagi Singhasari yang baru saja merasakan kedamaian setelah bergabungnya dua anak-turun penguasa. Nikmatnya kekuasaan dan semangat untuk merdeka menjadi objek utama dalam mengkaji sejarah Singhasari. Obsesi tinggi akan kekuasaan, konflik internal, dan ketidak-becusan dalam mengurus rakyat membuat raja-raja yang memimpin jarang yang mampu bertahan lama. Intrik politik dan kudeta berdarah yang hampir selalu timbul setiap era pemerintahan membuat Singhasari tak ubahnya negeri yang selalu bergolak dan dipenuhi dengan ketegangan-ketegangan politis hingga peristiwa berdarah hampir selalu terjadi di kerajaan itu.

Kisah pun masih berlanjut, seusai pemberontakan Jayakatong, Raden Wijaya lari menuju Sumenep untuk bertemu dengan Arya Wiraraja. Raden Wijaya pun diperintah untuk pura-pura setia pada prabu Jayakatong sembari meminta sebuah daerah untuk digunakan sebagai basis kekuatannya. Oleh Prabu Jayakatong, Raden Wijaya diberi hak untuk membuka hutan di Tarik. Ketika membuka lahan disana, salah satu prajuritnya menemukan buah maja yang rasanya amat pahit. Sejak saat itu nama Tarik diubah menjadi Majapahit.

Perebutan kekuasaan pun terjadi lagi. Kemarahan pasukan Tatar akibat penghinaan Kertanegara pada saat ia masih hidup kepada Mengci membuat Kubilai Khan memutuskan untuk menyerang Singhasari. Tapi Kubilai Khan tidak mengetahui bahwa Singhasari telah tamat, sehingga pasukan yang menuju ke Jawadwipa tetap saja bergerak maju guna menghancurkan siapapun penguasa di Jawadwipa. Pasukan Tatar ini pun dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menggempur Jayakatong di Daha. Jayakatong pun akhirnya menyerah dan kekuasaan di Daha dipegang oleh Raden Wijaya. Setelah berhasil mengalahkan Daha, pasukan Raden Wijaya langsung mengusir pasukan Tatar hingga mereka kembali ke negerinya.

Semangat untuk memerdekakan diri dari belenggu penjajahan menjadi suatu hal yang pantas untuk dikaji dalam sejarah Majapahit. Berawal dari sebuah hutan di wilayah Tarik mampu merubah diri menjadi sebuah kerajaan besar yang kelak akan menyatukan hampir seluruh nusantara. Proses ini memang berlangsung cukup lama, tapi setidaknya dengan filosofi ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya’ mampu menjadikan Majapahit menjadi sebuah negeri yang diingat oleh para sejarawan hingga kapanpun. Konsep asal-muasal negara nya tidak jauh berbeda dengan Singhasari pada masa awal. Bahkan penjajahnya pun sama-sama Daha. Dengan mempelajari sejarah bangsanya, Raden Wijaya mampu mendirikan sebuah kerajaan baru yang kelak menjadi kerajaan besar di Nusantara. Raden Wijaya pun menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.

Raja Majapahit berikutnya adalah Jayanagara yang bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara . Pada masa pemerintahannya banyak diwarnai pemberontakan, hal ini karena terdapat tokoh bernama Mahapati yang terobsesi menjadi Mahapatih kerajaan. Para pesaing-pesaing Mahapati seperti Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti dihasutnya supaya memberontak hingga akhirnya mereka tewas satu-persatu. Diantara pemberontakan-pemberontakan itu yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti, karena pada saat itu ibukota kerajaan mampu diduduki oleh para pemberontak. Tapi dengan sigap dapat segera ditumpas oleh pasukan bhayangkari yang saat itu dipimpin oleh Gajahmada.

Jayanagara wafat ditangan tangan tabib kerajaan. Ia meninggal di tangan Ra Tanca ketika sang tabib mengobati bisul sang raja. Ra Tanca pun kemudian dibunuh oleh Gajahmada. Sebuah analisa politis timbul dalam diri penulis bahwa mungkin ketidaktegasan Jayanagara adalah sebuah aib bagi kerajaan sebesar Majapahit. Selain itu tindakan Gajahmada menuruti perintah Jayanagara untuk melenyapkan mereka-mereka yang merupakan pengawal setia dari Raden Wijaya diakuinya sebagai suatu kesalahan besar. Hal ini berdasarkan informasi bahwa nama ‘Kalagemet’ yang diberikan oleh Serat Pararaton merupakan sebuah ejekan untuk Jayanagara. Untuk itu Gajahmada merancang sebuah perbaikan untuk menyelamatkan nama besar dan negeri-nya dengan menggunakan tangan Ra Tanca guna mengganti raja yang berkuasa saat itu.

Jayanagara lalu digantikan oleh adiknya, Tribhuwana Wijayatunggadewi yang bergelar Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Dalam Serat Pararaton ia bernama Bhre Kahuripan. Persitiwa penting yang tercatat dalam masa pemerintahan Bhre Kahuripan adalah Sumpah Palapa yang dikumandangkan oleh Gajahmada. Dengan lantang Gajahmada berkata “Sadurunge samya nungkul, Nusantara Pulo Bali, Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang lan Tumasik, Dompo, Sunda, lan Palembang, tan arsa bukti rumiyin”. Gajahmada bersumpah bahwa ia tidak akan makan enak sebelum seluruh wilayah Nusantara tunduk pada kekuasaan Majapahit. Masa Bhre Kahuripan adalah masa perluasan wilayah Majapahit. Sebagai pelaksanaan atas Sumpah Palapa yang terlanjur diucapkan oleh Gajahmada.

Bhre Kahuripan mundur dari tahta raja Majapahit dan digantikan oleh anaknya, Hayamwuruk yang bergelar Rajasanegara. Peristiwa Bubat menjadi hal yang paling terkenal pada masa pemerintahan Hayamwuruk. Tahun 1351 Hayamwuruk hendak menikahi putri dari raja Pajajaran yang bernama Dyah Pitaloka Citrasemi. Sang raja memperbolehkan dengan satu syarat, pernikahan ini tidak bertujuan untuk menyerahkan kedaulatan Pajajaran pada Majapahit. Hayamwuruk menyetujuinya dan rombongan raja Pajajaran beserta putrinya pun bergerak menuju Majapahit. Tapi ditengah jalan rombongan ini dicegat oleh Gajahmada yang meminta supaya putri raja Pajajaran dijadikan upeti sebagai pertanda tunduk pada Majapahit. Raja Pajajaran menolak dan seluruh pasukan beserta para menak melindungi sang raja dan sang putri. Pertempuran besar itupun berlangsung sengit tanpa ada yang lari hingga akhirnya semua rombongan itu tewas di tangan pasukan Majapahit.

Persitiwa ini sungguh ironis dan mencoreng Sumpah Palapa sang mahapatih Gajahmada. Sebuah cara yang mungkin dalam pikiran Hayamwuruk dapat menguasai dengan cara damai telah gagal dengan tergesa-gesanya Gajahmada dalam mengambil keputusan. Setelah perang tersebut konon Hayamwuruk meminta maaf kepada kerajaan Pajajaran. Bahkan Hayamwuruk berjanji tidak akan menyerang lagi daerah Jawa Barat serta mengakui kedaulatan kerajaan Pajajaran. Kejadian ini jelas-jelas telah mencoreng nama Majapahit dalam sejarah Pasundan. Hingga sekarang pun di Jawa Barat tidak ada nama jalan yang bertuliskan Hayamwuruk maupun Gajahmada. Hal ini karena kesan Majapahit sebagai kerajaan agresor melekat kuat dalam sejarah Pasundan.

Setelah Hayamwuruk mangkat, Wikramawardhana menggantikan posisi Hayamwuruk sebagai raja majapahit yang bergelar Bhre Hyang Wisesa Aji Wikrama. Pada masa ini Bhre Hyang Wisesa memerintah Majapahit karena menikahi anak dari permaisuri Hayamwuruk (Kusumawardhani). Sehingga sebelum ajalnya Hayamwuruk memberikan warisan berupa pembagian kekuasaan untuk Kusumawardhani dan Bhre Wirabumi. Kusumawardhani selaku putri dari permaisuri diberi wilayah yang lebih luas, yaitu Majapahit Barat. Sementara Bhre Wirabumi mendapat bagian Majapahit Timur (Blambangan). Ketika Bhre Hyang Wisesa berkuasa, ia berselisih dengan Bhre Wirabumi. Lalu terjadilah Perang Paregreg dimana pihak Blambangan akhirnya kalah dan Bhre Wirabhumi dipenggal kepalanya. Sementara itu pengikut-pengikut Bhre Wirabumi banyak yang melarikan diri ke Pulau Bali.

Sebuah negeri yang sangat besar hancur dalam sekejap mata begitu sifat haus akan kekuasaan muncul dalam hati keturunan Hayamwuruk. Seperti yang sudah lama diketahui bahwa masa Hayamwuruk adalah masa yang sangat luas wilayahnya. Bahkan masa keemasan Majapahit terjadi pada era Hayamwuruk. Tetapi setelah Hayamwuruk mangkat, yang terjadi adalah perang saudara yang mengakibatkan lepasnya kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai dan berada di luar Pulau Jawa. Kesibukan berperang antara Majapahit dengan Blambangan membuat kerugian yang cukup telak bagi Majapahit. Tercatat Majapahit berhutang sebesar 60.000 tail pada Dinasti Ming di Cina. Karena pada saat penyerbuan ke Blambangan, sebanyak 170 anak buah Laksamana Cheng Ho terbunuh.

Setelah Bhre Hyang Wisesa turun tahta, maka yang menggantikan adalah Dewi Suhita. Dewi Suhita menjalankan kekuasaan bersama sang suami Bhre Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Kemunduran Majapahit pun terus berjalan. Begitu pula ketika Majapahit dipimpin oleh Kertawijaya yang bergelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjabat sebagai Bhre Tumapel. Pada masa pemerintahannya Majapahit justru semakin terpuruk dengan berbagai bencana alam yang menyertainya dan peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel .

Setelah itu Kertawijaya digantikan oleh Rajasawardhana yang pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, dan Bhre Kahuripan. Setelah Rajasawardhana mangkat di Majapahit terjadi kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Setelah itu Bhre Wengker menjadi raja di Majapahit. Bhre Wengker bernama asli Girishawardhana Dyah Suryawikrama dan bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Kemunduran Majapahit semakin mendekati titik nadir dengan banyaknya bencana yang mendera. Dan raja Majapahit terakhir yang tercantum dalam Pararaton adalah Bhre Pandanalas yang bernama asli Dyah Suraprabhawa dan bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.
 
Sekian dan terimakasih.....
Sumber : Dari mana saja